Problem
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Yang menyebabkan problema-problema
pendidikan multikultural di Indonesia berbeda dengan problema di negara lain
yaitu adanya keunikan faktor geografis, demografis, sejarah dan kemajuan
ekonomi sosial. Faktor-faktor tersebut menjadi pemicu munculnya masalah
pendidikan multikultural di Indonesia.Problem yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan akan dipecahkan
melalui pendidikan multikultural.
Problema
Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Beberapa
peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa
di Poso, Ambon,Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain inidisebabkan
oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut:
1)
Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman
ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang
memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun
Indonesia yang multikultural. Namun kondisi aneka budaya itu sangat berpotensi
memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial.
Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya
komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat
menjadi konflik. Sebab dari konflikkonflik yang terjadi selama ini di Indonesia
dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras.
Misalnya peristiwa Sampit. Mengapa ? Keragaman ini dapat digunakan oleh
provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam
mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang
mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu
manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk
ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan
Multikultural. Dengan adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan
masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan
bisa saling berkomunikasi.
2)
Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak
dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam
tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yangpaling menonjol
adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan
dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya
lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan
kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai
sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan
dikembangkan dalam konteks budaya lokal masingmasing.Ketika sesuatu bersentuhan
dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan
ataupun melanggengkan kekuasaan itu,termasuk di dalamnya isu kedaerahan. Konsep
“putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun
memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu
diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos
penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan
berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya
asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan
justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan
mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan
memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika
persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep
pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi
akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan
simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan
isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari
kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.
3)
Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman
budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”)
seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,
kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa
ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila
kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan
semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan
menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus
ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu
tersentralisasi.
Sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde
Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui,termasuk di dalamnya
Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya
tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme
perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi
bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila
yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat
nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah
persatuan dan kesatuan bangsa ini.
4)
Fanatisme Sempit
Fanatisme
dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit,
yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik
dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak
menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo
nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air.
Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang
berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta
maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan
pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim
kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini. Kecintaan dan kebanggaan pada korps
memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila
ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang
kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya
perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat
tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan
contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu
agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan
gejala ke arah disintegrasi bangsa.
5) Konflik
Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada
tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural.
Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada
stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep
stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh
ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan
pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati
terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan
damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan
diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang
berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini. Di sisi multikultural, kita melihat
adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar
pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini.
Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada
gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir
ini. Salah seorang panglimaperang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen
terhadap negara kesatuanRI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di
Nabire, Irian Jaya.
6.
Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara
Kelompok Budaya
Kejadian
yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah
diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga
pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli.
Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata
dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi. Keterlibatan orang dalam
demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema
demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang
ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut
terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah
banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini. Orang akan
dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika
himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka
pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak
mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang
dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air
ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi
kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam
peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai
mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah
tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.
7.
Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya
televisi swasta dalam
memberitakan
peristiwa.
Di
antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan
dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya
diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu
mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk
kepentingan tertentu,yang justru dapat merusakbudaya Indonesia. Kasus
perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media
massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun
sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan
yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat
perhatian publik, tetapi kalau terusmenerus diberitakan setiap hari mulai pagi
hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap
nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian
rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik
yang negatif. Sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya
baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati
lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu
menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan
materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok
mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang
bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas
dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan
bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca
koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi
tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan. Ketika penggusuran gubuk
liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang
anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para
gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para
preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak
bila yang disorot adalah tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di
lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi
simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak
berdayaan dan putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol
preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam
menyorot berbagai peristiwa.
Dari uraian
di atas mengenai problema-problema pendidikan multikultular di Indonesia, sudah
sepaputnya kita menyadari dan mengakui adanya keberagaman diantara kita semua
sebagai warga Negara Indonesia yang menjujung tinggi “ Bhineka Tunggal Ika”. Bukan hanya menyadari dan mengakui tetapi
kita juga harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai wujud dari
kecintaan kita terhadap bangsa ini. Jadi, tetap semangat para generasi penerus
bangsa membangun bangsa kita ini and keep smile,,,,,:D
Sumber : Buku Pendidikan Multikultural. Penulis, Sutarno.
Komentar